Memori Media: Antara Jacksen F Tiago dan Nilmaizar
August 27, 2018
Tiga laga terakhir Tim Nasional Indonesia, berujung kekalahan di rumah sendiri. 1-2 dari Arab Saudi, 0-3 saat ujicoba vs Belanda, dan terakhir ketika Garuda “ganti kulit” jadi Indonesia Dream Team (IDT) skor kekalahan makin menggelembung, 0-7 dari Arsenal.
Tiga pertandingan cuma memasukkan satu gol, dan menerima 12 gol. Sebagai anak bangsa yang berharap Timnas semakin baik, justru merasa sedih dan jengkel berbaur jadi satu melihat capaian Timnas saat ini. Padahal, apa yang kurang dari tim ini.
Pemain? Bukankah para bintang kelas satu dari Liga paling laki sudah bergabung. Pelatih? kurang apa pria Brasil bernama Jacksen F Tiago itu? Penonton? bukankah sudah puluhan ribu lagi yang datang ke GBK. Suatu hal yang tak bakal ditemukan saat timnas sebelumnya mentas disana. Atau lawan terlalu kuat barangkali? Tapi apakah itu bisa dijadikan pembenaran atau pemakluman atas sebuah kekalahan?
Melawan Arab Saudi yang sesungguhnya tak terlalu istimewa dan konon hanya memainkan tim muda mereka, Boaz Solossa Cs tetap ngos-ngosan dan akhirnya kalah. Lawan Belanda, bisa dimaklumi kalah. Tapi setidaknya hasil “bagus” mampu menahan peringkat 5 dunia di babak pertama, bisa dipertahankan di babak kedua. Apa daya, nafas juga tak sanggup untuk berlari selama 90 menit dan semangat sudah terbang entah kemana.
Lawan Arsenal, ini yang paling menyedihkan. Sejak menit pertama, pemain Timnas ala IDT tak bisa keluar dari tekanan “The gunners”. Semuanya hanya sibuk melindungi Kurnia Meiga agar gawangnya tak bocor dibombardir pasukan Arsene Wenger. Nyaris tak ada serangan berarti untuk Arsenal, apalagi bicara ancaman serius ke gawang Lukas Fabianski.
Akibatnya, banyak guyonon muncul, kiper Arsenal itu seolah bisa bermain sambil goreng bakwan di gawangnya, sembari update status facebook atau bikin Twit. Semua itu saking tak khawatirnya dia gawangnya bakal kebobolan oleh pemain IDT. Ah…barangkali Arsenal terlalu serius bermain untuk ukuran tim yang sedang liburan. Tapi, skor 0-7 terasa terlalu sedikit jika melihat keseriusan Arsenal dan melihat tim yang satunya lagi bertarung dengan apa adanya, tanpa semangat juang yang memadai.
Semangat juang, mungkin itulah sedikit pembeda yang nyata antara Timnas era JFT dan timnas sebelumnya ditangan Nilmaizar. Biar disebut Timnas Emprit atau Timnas Tarkam, tapi mereka masih punya daya ledak didada, bahwa mereka adalah Indonesia, dan tahu bagaimana mengaplikasikan daya ledak itu di lapangan.
Meskipun tak ada puluhan ribu orang mendukung di Stadion, dan hanya sibuk menerima hujatan dan cemooh dari bangsa sendiri. Usai laga lawan Arsenal, banyak muncul di sosmed nama Nilmaizar kembali disebut-sebut dan dibanding-bandingkan dengan JFT.
Rindukah Anda dengan pria bersahaja, tapi mampu jadi motivator ulung itu? Sabagian kita yang ingin melihat Timnas yang bermental pejuang dan punya fighting spirit tinggi, pasti ada yang rindu. Pastinya sebagian lagi akan tetap menganggap Nilmaizar hanya masa lalu yang kelam dan pecundang seumur hidup dimata mereka.
Tapi yang jelas soal membangun spirit dan kebanggaan sebagai pemain Timnas, Nil jelas jauh lebih baik dari JFT. Nil adalah jebolan Tim PSSI Garuda II, proyek sepakbola masa depan yang dibangun tahun 1987 silam. Tim ini tak hanya dididik soal teknis sepakbola, tapi juga sarat ditempa dengan ajaran-ajaran tentang arti kebangsaan dan patriotisme.
Ajaran yang tak lekang oleh waktu, dan akan selalu tertanam didada Nil. Itulah yang selalu coba ditularkan kepada pemain semasa dia memegang Timnas Indonesia. Bagaimana JFT? Bagaimanapun, dia tetaplah seorang “Kuning Hijau” dan bukan “Merah Putih”, tentunya tak memiliki apa yang dipunyai Nilmaizar.
Dalam proses menulis buku biografi Nil saat ini, saya sudah banyak menghubungi pemain-pemain “Timnas Emprit” untuk memperoleh data tentang sosok Nil. Semuanya memberikan penilaian yang nyaris sama tentang bagaimana sosok Nil yang sebenarnya. Soal pendekatan personalnya, bagaimana dia memotivasi pemain, bagaimana suasana di ruang ganti, dan sebagainya.
“Di ruang ganti, benda yang dipastikan selalu ada adalah bendera merah putih. Kami semua memegang bendera itu dengan erat. Kami semua diam, ketika Coach Nil memotivasi kami dengan suaranya yang lantang. Dada kami gemuruh, dan kami siap berperang dengan bendera ditangan kami,”kata Taufik, pemain Persebaya Surabaya mengisahkan kepada saya diujung telepon.
Taufik pun melanjutkan; “Coach Nil buat saya tak hanya sebagai pelatih, dia adalah ayah bagi kami, juga seorang sahabat yang luar biasa, sekaligus pelindung untuk kami. Dia telah memegang erat hati kami, sehingga kami akan siap melakukan apa saja untuknya di lapangan. Saya bangga bisa menjadi bagian tim ini,”
Itulah sedikit cara Nil membangun spirit ditengah keterbatasan timnya. Dengan itu pula dia membuat pemainnya tetap berlari dibawah suhu minus 0 derajat dan hujan lebat di Amman saat melawan Yordania. Begitupun saat berjibaku tak kenal lelah menahan gempuran Irak di Dubai.
“Saya masih ingat Hamdi Ramdhan, dia menangis, benar-benar menangis di ruang ganti usai melawan Irak. Dia merasa berhutang pada bangsa ini karena blundernya. Tapi Coach Nil datang memeluk dan menghiburnya, bahwa dia tetap seorang pejuang hebat untuk negara ini,” kata Wahyu Wijiastanto.
Walau tak ada piala yang dihasilkan, tapi sebuah tim bermental baja dan punya spirit kebangsaan telah lahir ditangannya. Buat saya itu lebih membanggakan, ketimbang sebuah timnas yang mewah, bertabur bintang, bahkan berlabel dream team, tapi lembek di lapangan.
Cuma, saya tak terlalu yakin apakah JFT juga melakukan hal yang sama dengan Nil di ruang ganti. Apakah Jacko juga bisa jadi seorang motivator jempolan di tengah anak asuhnya. Faktanya hal itu tak terlihat dalam timnas ala JFT di tiga laga terakhir. Ini yang membuat saya, mungkin juga Anda merasa sedih.
Terus terang, saya tak terlalu mempermasalahkan timnas kalah atau menang, tapi saya jelas rindu sebuah timnas yang mau berusaha keras dan tetap berjuang sebatas yang mereka bisa di lapangan, walau pada akhirnya tetap kalah.
Roh atau nyawa sebuah tim adalah fighting spirit, bukan label “bintang” pada pria bernama Sergio van Dijk, Boaz solossa, ataupun Kurnia Meiga. Apakah Anda bisa membuat mereka lebih bersemangat Tuan JFT?
Kami yakin bisa, kalau Anda tak menganggap melatih Timnas itu seperti di “neraka”. Well, kami akan lihat saat Anda melawan Liverpool.(*)
Penulis: Rizal Marajo
**) Tulisan ini pertama kali dipublikasikan 16 Juli 2013 pukul 22:07 di kompasiana.com